De Galih Mulyadi edukasi pelestarian lingkungan lewat cerita anak “Tune Puteq Kokoq Daye”

Property of Lombokvibes media.
Property of Lombokvibes media.

Lombokvibes.com, Lombok Utara– “Menulis cerita anak memiliki tantangan tersendiri, terutama pada pembangunan konflik,” ujar De Galih Mulyadi, penulis buku Bilai (2024) saat diwawancarai singkat, kemarin.

0b864043-9ea8-4f41-9592-bb14bb18b2ff
(Foto: De Galih Mulyadi/dok.istimewa)

Terbiasa menulis naskah dengan konflik yang dalam dan kuat, pria yang akrab disapa Kak Mul itu ternyata bisa menuliskan cerita anak.

Ia kembali terpilih untuk mempublikasikan cerita anak dwibahasa pada Sayembara Kepenulisan Cerita Anak Dwibahasa Tahun 2025 yang digelar oleh Balai Bahasa Provinsi NTB.

Tulisannya yang berjudul Tune Puteq Kokoq Daye rupanya bukan hanya sekadar cerita anak. Ada pesan dan pembelajaran mendalam yang diselipkan: pelestarian lingkungan dan budaya.

De Galih Mulyadi menyebutkan, cerita anak Tune Puteq Kokoq Daye ini terinspirasi dari cerita lokal yang berkembang di tempat kelahirannya, Dusun Kakong, Desa Selelos. 

Cerita lokal tentang adanya seekor tuna putih (tuna puteq) yang hidup di Mata Air Kakong. Namun, tuna itu hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu yang kebetulan “kesindungan” atau diberikan kelebihan atau tidak sengaja bisa melihat.

“Cerita ini kemudian saya padukan dengan  kebiasaan anak-anak kampung juga, anak saya, yang sering memancing tuna di sungai, di kampung kami ada istilah “nan ampen” atau memasang pancing tuna sore atau malam hari, dan besok pagi baru dibuka,” ujar pria kelahiran 1 September 1988 itu.

Lebih jauh diceritakannya, dalam cerita Tune Puteq Kokoq Daye, pesan pelestarian budaya dan lingkungan dikemas dalam sebuah alur cerita yang menarik. 

Cerita bermula dari sekelompok anak SD yang sepulang sekolah mencoba memasang ampen (alat pancing tradisional) di sungai. Sayangnya, hasilnya nihil. 

Di saat yang sama, mereka melihat sekelompok pemuda berhasil mendapatkan banyak ikan. Namun, keberhasilan itu didapat dengan cara yang merusak: menggunakan setrum listrik dan racun. Tergoda oleh hasil yang melimpah, anak-anak tersebut mulai berpikir untuk meniru tindakan itu.

Pada suatu hari, mereka mencoba mewujudkan niat tersebut. Mereka memasuki sungai dan mulai menangkap ikan menggunakan cara yang sama. Ikan memang banyak mereka dapatkan. Namun tiba-tiba, seekor ikan tuna putih raksasa muncul dari dalam sungai dan mengejar mereka. Mereka berlari ketakutan. Tapi ternyata, semua itu hanyalah mimpi.

Mimpi itu menjadi titik balik kesadaran mereka. Mereka pun berjanji tidak akan menggunakan cara-cara yang merusak lingkungan. Kakek mereka kemudian menguatkan niat baik itu dengan berkata bahwa benar, tuna putih bisa muncul dan menghukum siapa saja yang merusak sungai.

Sebagai bentuk bimbingan, sang kakek menunjukkan lokasi memasang ampen yang dipercaya sering menjadi tempat berkumpulnya tuna. Benar saja, kali ini anak-anak berhasil mendapatkan tuna-tuna besar hanya dengan alat tradisional dan cara yang ramah lingkungan.

“Saya berharap melalui cerita ini, masyarakat khususnya anak-anak bisa lebih menyadari pentingnya menjaga kelestarian alam, khususnya sungai sebagai sumber kehidupan,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *