Lombokvibes.com, Mataram– Maraknya kasus pelecehan dan kekerasan di Lembaga Pendidikan khususnya Pondok Pesantren (Ponpes) kian menghawatirkan akhir-akhir ini. Data Komnas Perempuan menyebutkan, bahwa Ponpes menjadi lembaga pendidikan nomor 2 (dua) dengan kasus kekerasan seksual.
Teranyar, kasus kematian santriwati Nurul Izzatih (14) asal Ende, NTT, yang diduga dianiaya di Ponpes Al-Aziziyah masih menyisakan misteri. Malangnya nasib remaja putri penghafal Al-quran itu membuat siapapun merasa getir.
Kegetiran juga dirasakan oleh Koalisi Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) NTB. Koalisi PPA yang terdiri dari InSPIRASI NTB, LBH APBIK NTB, PBHBM, SANTAI NTB, SOBAT NTB dan PBHM NTB itu pun tak tinggal diam. Mereka mendesak Kemenag untuk berhenti menutupi kasus kekerasan Ponpes, khususnya kasus Nurul Izzatih.
Direktur Yayasan Tunas Alam Indonesia / SANTAI NTB, Suharti menyebut, Kemenag NTB tidak boleh abai dan harus segera bertindak mengatasi kasus kekerasan di Ponpes yang marak terjadi. Pihaknya pun telah melayangkan surat permohonan hearing yang rencananya akan dilakukan Senin tanggal 8 Juli 2024. Namun, tidak ada tanggapan dari Kemenag meski surat telah dikirim per 1 Juli 2024.
“Ada kesan Kemenag NTB ingin lari dari tanggungjawab terkait maraknya kasus kekerasan di Ponpes. Dan terkait surat kami, apabila tidak ditanggapi maka akan mengadukan Kemenag NTB ke Ombudsman RI terkait dugaan mall administrasi dengan mengabaikan surat tersebut,” tegas Suharti, (6/7/2024).
Nurjanah, selaku Direktur Yayasan Institut Perempuan untuk Perubahan Sosial / InSPIRASI NTB menegaskan, beberapa tuntutan Koalisi PPA terhadap Kemenag NTB dan seluruh Ponpes se-NTB, agar:
1)Segera bentuk SATGAS terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Pondok Pesantren dengan melibatkan berbagai unsur termasuk didalamnya media, dan masyarakat sipil;
2) Evaluasi PONPES terkait ada tidaknya tata kelola kelembagaan yang ramah perempuan dan anak termasuk ketersediaan ruang khusus bimbingan konseling yang layak, serta tempat pengaduan;
3) Monitoring berkala terhadap PONPES;
4) Adanya kurikulum khusus terkait kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan/kekerasan seksual. Tahapan implementasinya dengan melakukan sosialisasi berkala pada awal masa orientasi santri/santriwati;
5) Wujudkan KEMENAG yang transparan dengan publikasi hasil temuan SATGAS serta monitoring dan evaluasi berkala terhadap PONPES akan implementasi tata kelola kelembagaan yang ramah terhadap perempuan dan anak.
“Kemenag dan Pemda harus segera menghentikan kekerasan dan tidak melakukan pembiaran atas maraknya korban berjatuhan di Ponpes, jangan ada lagi upaya menutupi hanya karena alasan menjaga nama baik lembaga,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Umum PBHM NTB, Yan Mangandar Putra M.H., menerangkan Koalisi PPA NTB bersedia secara langsung atau dihubungkan dengan lembaga layanan lain seperti UPTD PPA bila dibutuhkan untuk pendampingan psikososial termasuk layanan konseling dengan psikolog.
Bahkan, sebut Yan, anggota koalisi PPA NTB yang memiliki layananan bantuan hukum seperti LBH APIK NTB, PBHM NTB, LBH PELANGI dan LPA MATARAM bersedia memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), baik sebagai anak saksi dan anak yang diduga sebagai pelaku tindak pidana dalam kasus anak korban Nurul Izatih.
“Karena tidak mudah bagi psikologi anak yang pernah melihat atau melakukan kekerasan pasti ada tekanan mental yang akan berdampak panjang kalau tidak segera ditangani. Bagaimana pun juga salah satu prinsip penting dalam perlindungan anak adalah kepentingan yang terbaik bagi anak,” ujar Yan. (*)