Mengenal Harvia Hayati, sosok pembatik perempuan asal Lombok Utara

Lombokvibes.com, Lombok Utara– Harvia Hayati, perempuan yang akrab disapa Pia itu, merupakan gadis kelahiran Gumi Dayan Gunung, Gangga, Lombok Utara pada 1995 lalu—sebuah daerah yang berada di kaki Gunung Rinjani bagian utara.

Pia, lulus dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada tahun 2019. Mengambil jurusan seni kriya, membuat perempuan manis yang masih lajang itu, menyelami seni membatik. Dari sanalah kemudian lahir karya-karya menakjubkannya, yang diwadahi dalam usaha yang dirintisnya bernama Sasakriyatif, yang dulunya adalah Tjejanting (2020).

Kecintaan Pia pada membatik bukanlah tanpa alasan. Gadis yang bermata teduh itu menceritakan hobbynya suka berkreasi, menciptakan sebuah karya seni. Namun, dunia membatik menjadi hal yang ditekuninya, karena daerah kelahirannya, Lombok Utara, belum memiliki seni batik.

(Foto: Salah satu batik eco-print karya Harvia Hayati/dok.LVstock)

Berawal dari situlah, Pia akhirnya memberanikan diri mengambil fokus tugas akhir untuk membuat batik dengan motif Pelecing Kangkung. Motif ini menjadi representasi kekayaan leluhur Pulau Lombok di bidang wisata kuliner, khususnya Lombok Utara yang juga memiliki wisata kuliner unggulan yakni Pelecing Opak-opak.

“Kalau dulu pas kuliah itu kita kan kalau suka, ya yang penting suka ya buat aja (karya seni, red). Tapi kemudian pas tugas akhir ya sudah mulai mikir, apa yang bisa menjadi daya tarik orang, yang ikonik, khas begitu,” cerita Pia dengan ramah saat ditemui di Gangga (2/11/2024).

Usai menyelesaikan studi di ISI Yogyakarta pada April 2019 itu, Pia kemudian bertolak ke Pulau Lombok, pada November 2019. Dalam perjalanan pulangnya ke tanah kelahiran, dia kemudian terinspirasi oleh awan mendung di yang dilalui pesawat. Dari inspirasi itu, ia membuat desain motif batik bernama Gulem Runtak. “Gulem” yang berarti awan mendung, sedangkan “Runtak” berarti jalan yang tak mulus. Inspirasi itu kemudian membawa Pia melahirkan motif kedua batiknya.

Pada akhir tahun 2019, dia mulai memasarkan karya batik motif Pelecing Kangkung dan Gulem Runtak dari mulut ke mulut. Pesanan mulai berdatangan namun belum membuat usaha yang serius.

Hingga pada tahun 2020, Pia mulai membangun Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) bernama Tjejanting. Di sanalah, Pia, mulai berkreasi dan menjual batik-batik karya emasnya. Motif Pelecing Kangkung pun terus berinovasi, hingga kini menjadi 8 motif unggulan. Motif pelecing kangkung menjadi yang sangat diminati hingga dipesan menjadi beberapa seragam oleh kantor-kantor dinas di daerah.

“Kalau motif pelecing kangkung itu, kenapa dia meliuk-liuk gambarnya, ya kalau sudah jadi pelecing, kangkung itu sudah disuwir-suwir, sudah tidak keliatan bentuk kangkungnya, itu saya jelaskan kalau ada yang bertanya,” ujar gadis yang sudah melanglang buana mengisi pelatihan dan menjadi pembicara di beberapa daerah itu.

(Foto: Batik eco-print, dengan teknik shibori dan pewarna indigo karya Harvia Hayati /dok.Lvstock)

Belum puas dengan ilmu yang dia punya, Pia kemudian ikut belajar dalam studi tour bersama Dekranasda KLU ke Yogyakarta (2020).

Di sana, dia belajar seni membatik dengan teknik eco-print. Ilmu yang didapatkan itu tak sia-sia. Pia akhirnya membuat karya batik eco-print dengan memanfaatkan daun-daun di sekitar rumahnya menjadi karya-karya yang luar biasa, bahkan dijual melalui e-commerce dengan jumlah pesanan yang selalu membludak.

“Wah sampai keteteran kemarin, kita selalu sampai bilang stoknya habis di e-commerce,” ujarnya girang.

Produk batik eco-print yang dijual di e-commerce itu, dijual dalam bentuk hijab. Warna alami dan teknik eco-print yang dia gunakan, membuat jilbab batik eco-print itu langsung menyedot minat publik.

“Sampai ada yang pesan berkoli-koli,” cerita Pia dengan penuh semangat.

Selain batik eco-print, motif lain yang diciptakan oleh Pia adalah Dende Bayan, Raden Bayan, dan Serunai Rinjani.

“Itu terinspirasi dari Bayan, masjid Kuno, ya meski agak horor kalau sudah dilempar ke publik  ya ada pro kontra, seperti motif yang tidak sesuai representasinya, ada yang protes warna yang tidak sama dengan tenun atau bentuk jong juga,” ceritanya dengan terkekeh.

Meski demikian, perempuan yang kini aktif mengisi kelas membatik di salah satu hotel di Lombok Utara itu, tetap semangat berkarya. Dia menekankan, karya seni terutama batik memang tidak harus menyerupai bentuk sesempurna yang ingin direpresentasikannya.

“Ada istilisasi namanya, ya tidak harus sedetail  objek yang ingin didirepresentasikan. Sudah diubah, ga persis sama” tegas dia.

“Pro kontra itu ya sudah biasa, cuekin aja,” katanya dengan penuh semangat.

(Foto: Batik Motif Pelecing Kangkung karya Harvia Hayati/dok.Lvstock)

Bahkan, kini dia tengah mendesain motif batik Serunai Rinjani yang menjadi khas ekosistem di Gunung Rinjani. Perempuan yang senang mengamati daun-daun yang bisa dijadikan batik dan pewarna itu, mengatakan, motif Serunai Rinjani menjadi motif yang rumit dan kompleks. Oleh karenanya, diperlukan refrensi bacaan yang banyak.

“Harus banyak baca-baca jurnal,” tutupnya. (*)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *