Peringatan 61 tahun aktivis dan seniman Wiji Thukul, korban pelanggaran HAM berat 1998

Lombokvibes.com, Jakarta – Komite Perlawanan Rakyat (Kompera) hari ini dengan bangga menyelenggarakan peringatan “61 Tahun Wiji Thukul: Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa dan Hari Anti Penghilangan Paksa Intermasional” di kantor pusat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Peringatan ini dimulai dengan kegiatan pembacaan puisi, diskusi, dan pemutaran film Istirahatlah Kata-Kata.

Bernama asli Wiji Widodo, penyair dan pejuang demokrasi yang kemudian lebih dikenal
dengan nama Wiji Thukul dilahirkan pada 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo,
Jawa Tengah. Wiji Thukul tumbuh dalam lingkungan yang mayoritas penduduknya merupakan rakyat jelata yang kebanyakan berprofesi sebagai buruh dan tukang becak.

Sejak SD, Wiji sudah menulis puisi. Ketika SMP, ia mulai tertarik pada dunia teater. Puisi-puisi Wiji Thukul menjelma sebagai simbol perlawanan gerakan mahasiswa dan rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru Soeharto. Puisinya kerap bergema dalam berbagai aksi massa. Bahkan, puisinya yang berjudul “Peringatan” dikutip menjadi slogan gerakan dengan kalimat yang penuh gelora: Hanya ada satu kata, lawan!

Wiji Thukul sadar pentingnya organisasi sebagai alat gerakan untuk memperkuat barisan perlawanan terhadap kediktatoran Orde Baru. Wiji Thukul bersama para seniman dan intelektual kerakyatan lantas memprakarsai berdirinya Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) pada 1994 dan dipercaya menjadi ketuanya.

Kali terakhir Wiji Thukul membaca puisi di depan publik adalah ketika deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang digelar di kantor pusat YLBHI Jakarta pada 22 Juli 1996. Tak lama kemudian terjadi peristiwa 27 Juli 1996. Kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pro Megawati di Jalan Diponegoro Jakarta diserbu oleh orang-orang berambut cepak. Banyak korban berjatuhan akibat tragedi berdarah itu.

Beberapa hari kemudian, PRD dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh Orde Baru Soeharto.

Sejak saat itu, para pimpinan PRD dan ormas pendukungya menjadi buronan politik negara. Wiji Thukul harus bersembunyi ke berbagai tempat untuk menghindari buruan aparat. Situasi persembunyian Wiji Thukul ini tergambarkan dalam film Istirahatlah Kata-Kata.

Pada Januari 1998, sang istri, Sipon mengatakan bahwa ia terakhir bertemu Wiji Thukul di Stasiun Solo Balapan, Solo. Usai pertemuan itu, Wiji Thukul harus kembali sembunyi ke berbagai kota, sampai akhirnya hilang tanpa jejak. Pada 1999, pengurus PRD membuat tim investigasi untuk memastikan keberadaan Wiji Thukul. Kesimpulan tim, sang penyair dinyatakan sebagai korban penghilangan paksa.

Pada 20 Maret 2000, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Menurut KontraS, hilangnya Thukul terkait dengan peristiwa penghilangan paksa aktivis reformasi menjelang kejatuhan Presiden Soeharto pada 1998. Nama Wiji Thukul masuk sebagai korban penghilangan paksa saat Komnas HAM melakukan penyelidikan atas kasus penculikan aktivis 1997-1998. Dari penyelidikan tersebut, Komnas HAM menemukan ada 13 aktivis yang masih hilang selama periode 1997-1998, termasuk Wiji Thukul.

Pada 2007, DPR RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) Penanganan Peristiwa Penghilangan
Orang Secara Paksa. Pada September 2009, Pansus ini mengesahkan empat rekomendasi,
yaitu:

  1. Kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
  2. Membentuk tim pencarian aktivis yang masih hilang.
  3. Memberikan reparasi dan kompensasi pada keluarga korban.
  4. Meratifikasi konvensi anti-penghilangan paksa.

Sampai hari ini, empat rekomendasi tersebut belum dipenuhi negara. Janji Presiden Joko
Widodo (Jokowi) untuk menemukan Wiji Thukul dan kawan-kawan, hidup atau mati, belum dilaksanakan. Presiden Jokowi malah merangkul pelaku penculikan aktivis Prabowo Subianto menjadi Mentri Pertahanan pada 2019. Jokowi lupa untuk memenuhi janjinya pada keluarga Wiji Thukul.

Peringatan ulang tahun ke-61 Wiji Thukul berlangsung setelah pilpres 2024 yang dimenangkan pelaku penculikan, Prabowo Subianto. Tentu penyelesaian akan semakin sulit bila tokoh yang pernah terlibat dalam penghilangan paksa menjadi pemimpin di negeri ini dalam 5 tahun ke depan.

Untuk melicinkan pelantikan presiden Oktober nanti, Prabowo melalui Sufmi Dasco Ahmad,
Ketua Harian DPP Partai Gerindra, melakukan transaksi politik dan difasilitasi broker politik bernama Mugianto.

Mugiyanto yang kini bekerja di Kantor Staf Presiden (KSP) dan pernah jadi korban penculikan Prabowo ini, mengorganisir pertemuan dengan perwakilan keluarga korban dengan Dasco di Hotel Fairmont Jakarta pada 1 – 3 Agustus lalu.

Pertemuan tersebut disertai pemberian uang tali kasih senilai Rp 1 miliar dari Dasco.

“Kehadiran Mugiyanto sebagai pejabat publik dari KSP yang diduga juga menerima uang tali kasih Rp 1 miliar dapat diduga sebagai gratifikasi. Komisi Pemberantasan Korupsi harus memanggil Mugiyanto untuk dimintai keterangan. Pimpinan KSP juga harus memnggilnya karena patut diduga telah melanggar kode etik KSP,” ungkap Wilson, Dewan Penasehat Ikatan
Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI).

Wahyu Susilo, adik kandung dari Wiji Thukul, menjelaskan bahwa, ”Pertemuan itu tidak
mewakili kami, keluarga dari aktivis yang hilang dan sampai kini terus konsisten menuntut negara, termasuk untuk meminta adanya pertanggungjawaban Prabowo dalam kasus orang hilang.”

Merespon perfemuan tali kasih dengan Dasco, anggota Dewan Penasehat IKOHI sekaligus Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa dalam
aturan di pengadilan HAM yang merujuk pada hukum-hukum internasional, kejahatan
terhadap kemanusiaan tidak bisa diputihkan.

“Penghilangan paksa bukanlah kejahatan biasa, ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak bisa diampuni karena alasan daluwarsa. Kejahatan ini juga tidak bisa dianulir hanya karena pelakunya pernah melalui proses pengadilan di masa lalu, di mana ia sudah divonis, dibebaskan, atau tidak termasuk dalam tuntutan pada saat itu,” kata Usman.

“Sungguh ironis, beberapa orang yang pernah diculik bersama kawan-kawannya yang belum kembali sampai sekarang, justru berdamai dengan pihak yang bertanggung jawab atas
penghilangan paksa agar proses penculikan diakhiri dengan cara barter politik,” ungkap Petrus Hariyanto, Koordinator Kompera.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *