Lombokvibes.com, Lombok Utara– Harvia Hayati, seorang gadis pembatik asal Gangga, Lombok Utara, sukses membantu sejumlah ibu-ibu rumah tangga (IRT) berdaya melalui usaha batiknya di bawah UMKM yang dirintisnya, Sasakriyatif.
Meski sempat dihujat karena karyanya tak merepresentasikan ciri khas Lombok Utara, perempuan yang akrab disapa Pia itu tak gentar mempromosikan keindahan Gumi Dayan Gunung melalui motif-motif batik yang dibuatnya. Bahkan, batik-batik yang dibuatnya itu ramai diminati pelanggan dari luar daerah.
Harvia, atau Pia, yang merupakan lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta (2019) itu, tidak hanya memberikan kesempatan bekerja bagi IRT di sekitarnya, namun beberapa remaja yang juga tidak memiliki pekerjaan, dapat diserap untuk bekerja. Meski tidak menjadi pekerja tetap, namun setiap ada pesanan batik, ibu-ibu dan sejumlah remaja itu selalu diberikan pekerjaan.
“Alhamdulillah, ada beberapa ibu-ibu yang membatik juga ada penjahit, dan anak-anak yang sudah lulus sekolah tapi tidak ada pekerjaan,” ujar dia (2/11/2024).
Pia menyebutkan, tugas mereka hanya melakukan pekerjaan untuk membuat pola, mencanting, memblok dan lainnya. Sementara, untuk proses finishing dilakukan di rumahnya atau pusat Sasakriyatif.
“Sebetulnya mengkopi sistem di perusahaan batik di Yogya, jadi alhamdulillah kemarin dari BLK itu memberikan beberapa alat untuk membatik, saya berikan mereka (ibu-ibu,red) untuk dibawa pulang, biar bisa melakukan pekerjaannya di rumah,” cerita dia.
Ibu-ibu dan remaja yang dipekerjakan oleh Pia itu, disebutkan, telah diajari terlebih dahulu agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Untuk nominal upah yang diterima pun cukup banyak, sebut saja, per lembar batik diupah Rp100 ribu. Jika bisa mengerjakan 15 lembar, maka pekerja bisa mengantongi Rp1,5 juta dalam waktu seminggu.
“Tapi tergantung orderan yang masuk,” imbuhnya lagi.
Dia pun bersyukur, meski sempat dipandang sebelah mata oleh orang-orang di daerahnya (Lombok Utara), kini dia bisa berkarya dan bahkan bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang di sekitarnya.
“Ya dulu tantangan banget sih, kan batik yang saya buat itu katanya tidak khas KLU. Pelecing kangkung itu bukan punya KLU. Warnanya lah, bentuknya lah. Terus saya belajar buat motif masjid kuno Bayan, juga diprotes, ini dan itu,” cerita perempuan yang berpenampilan sederhana itu.
Meski demikian, dia bersyukur telah melalui itu semua. Kini, daerah (KLU) mengakui karyanya. Dia bahkan selalu dilibatkan dalam kegiatan seperti pelatihan dan workshop. Terlebih, batik-batik karyanya juga dipesan menjadi seragam dinas di beberapa OPD setempat.
“Sebelumnya saya malah lebih dikenal dari yang di luar, seperti Lombok Timur, dan lain-lain. Tapi alhamdulillah kini diakui, meski pro kontra itu selalu ada. Harus tetap semangat berkarya,” ujarnya dengan senyuman. (*)