Lombokvibes.com, Mataram– Di tengah derasnya arus modernisasi, masyarakat Sasak di Lombok masih memelihara senandung yang menggugah jiwa—tembang Sasak, lantunan syair penuh makna yang tak sekadar hiburan, tetapi juga sarana dakwah dan pendidikan moral. Dalam tradisi pepaosan,terutama melalui takepan seperti Al-Markum, syair-syair ini menjadi jembatan antara ajaran Islam dan budaya lokal yang sarat kearifan.
Takepan Al-Markum bukan sekadar teks kuno yang ditulis di atas daun lontar, tapi jejak spiritual para wali Sasak yang menuntun umat dengan lembut dan mendalam. Melalui gaya bahasa Asmarandana, tembang ini mengajak pendengarnya untuk merenungi hidup, menghargai ilmu, dan kembali kepada nilai-nilai ilahiah.
“Belajarlah selama masih hidup,” demikian potongan tembang dalam Al-Markum, mengingatkan bahwa ilmu adalah cahaya dalam perjalanan spiritual manusia.
Menurut penelitian Zulkarnaen (2023), tembang seperti Pembayunan dan Pengaksama memuat makna leksikal yang kuat, sarat dengan ajaran moral dan sopan santun. Dalam salah satu bait pembuka tembang, disebutkan:
“Saya mulai memuji, menyebut nama Allah, Yang Maha Pemurah di dunia, Yang Maha Pengasih di akhirat.”
Syair ini bukan hanya pengantar, tapi juga pengingat bahwa setiap pengetahuan dan petuah berasal dari Tuhan.
Tradisi pepaosan bukanlah sekadar membaca teks, melainkan peristiwa budaya di mana komunitas berkumpul, mendengarkan, dan merenungi ajaran yang disampaikan. Para wali, tokoh spiritual sekaligus budayawan, memainkan peran penting dalam meramu ajaran Islam dengan kearifan lokal, sebagaimana ditegaskan oleh Syam (2008) bahwa Islam dan budaya Sasak telah menyatu dalam harmoni yang khas.
Melalui pendekatan etnolinguistik, seperti yang dikaji oleh Ihsani (2020), tembang Sasak tak hanya mengungkap struktur bahasa, tetapi juga mencerminkan jiwa masyarakat Sasak—kesantunan, kesadaran sosial, dan semangat belajar yang tinggi.
Kajian-kajian ini menunjukkan bahwa tembang Sasak dalam takepan seperti Al-Markum memiliki posisi strategis dalam menjaga identitas budaya, nilai moral, dan spiritualitas masyarakat Sasak. Ia bukan hanya suara masa lalu, tapi cahaya yang menuntun masa depan.
Di tengah gempuran budaya instan, senandung para wali ini seolah berbisik lembut: kembalilah pada akar, resapi makna, dan hiduplah dengan nilai. Masyarakat Sasak memiliki warisan yang tak ternilai, dan tugas kita bersama adalah memastikan tembang itu tetap menggema di telinga dan hati generasi mendatang.