Lombokvibes.com, Jakarta– Tim Koalisi Cek Fakta yang terdiri dari AMSI, AJI, dan Mafindo, didukung oleh Google News Initiative, menggelar audiensi dengan Komnas HAM di Jakarta pada Senin, 3 Maret 2025.
Audiensi ini bertujuan untuk membahas perlindungan bagi pemeriksa fakta, yang kerap menjadi sasaran intimidasi dan ancaman, serta mengungkap hasil riset terkait situasi tersebut.
Koordinator CekFakta, Adi Marsiela, dalam kesempatan tersebut memaparkan hasil riset internal yang dilakukan oleh jaringan pemeriksa fakta. Riset tersebut, yang menggunakan metodologi survei dan wawancara mendalam, menemukan bahwa 21,05% pemeriksa fakta pernah menjadi korban intimidasi hingga doxxing di media sosial.
Selain itu, banyak dari mereka yang mengaku sudah menerima pendampingan psikososial akibat ancaman tersebut. Namun, riset juga menunjukkan bahwa hanya setengah dari responden yang memiliki prosedur operasional standar (SOP) perlindungan untuk pemeriksa fakta di lembaga atau organisasi mereka.
Riset tersebut juga menyoroti pentingnya perlindungan hukum bagi pemeriksa fakta, mengingat belum adanya aturan yang dapat menjamin perlindungan, terutama bagi mereka yang berlatar belakang non-jurnalis. Bahkan, sejumlah aturan hukum, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, malah berpotensi menjadi ancaman bagi pemeriksa fakta.
Felix Lamuri, Direktur Eksekutif AMSI, menambahkan bahwa selama lima tahun terakhir, penyebaran misinformasi semakin sulit ditangkal karena persebarannya yang sangat masif dan banyak warganet yang lebih mempercayai informasi dari media sosial ketimbang media arus utama.
“Maka butuh pengembangan jejaring karena tsunami misinformasi sangat besar dan membutuhkan orang-orang untuk membongkar itu dan dibutuhkan keselamatan terhadap pemeriksa fakta,” ungkapnya.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pengembangan jejaring untuk menghadapi “tsunami misinformasi” dan memastikan keselamatan para pemeriksa fakta.
Sementara itu, Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM, Uli Parulian Sihombing, menyatakan bahwa Komnas HAM sering menggunakan informasi dari portal cekfakta.com untuk memverifikasi kebenaran informasi yang beredar.
”Komnas HAM memiliki mekanisme untuk melindungi pembela HAM, dan bahwa pemeriksa fakta juga bisa dikategorikan sebagai pembela HAM setelah dilakukan asesmen lebih lanjut, termasuk bagi mereka yang berpotensi menjadi korban,” tekannya.
Rifanti Laelasari, anggota Divisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, mengungkapkan bahwa produksi dan penyebaran informasi bohong merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang dilindungi dalam ranah HAM.
Ia mengajak pemeriksa fakta yang menghadapi kendala atau hambatan dalam bekerja untuk mengajukan pengaduan ke Komnas HAM.
Di akhir pertemuan, Koalisi CekFakta membuka peluang untuk bekerja sama dengan Komnas HAM dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia terkait identifikasi dan pembongkaran informasi bohong. Kerja sama ini diharapkan dapat memperkuat upaya untuk melawan misinformasi dan memastikan perlindungan bagi mereka yang berjuang mengungkap fakta.