Lombokvibes.com, Jakarta – Kebijakan kehutanan Indonesia kini dihadapkan pada berbagai tantangan besar, mulai dari perubahan iklim hingga meningkatnya kebutuhan energi hijau. Namun, kebijakan yang ada saat ini dinilai belum cukup untuk mendukung keberlanjutan, baik dalam menjaga ekosistem hutan maupun melindungi hak-hak masyarakat adat.
Bahkan, sektor kehutanan kini dianggap sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi nasional, terutama melalui pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi hijau. Pemerintah juga merencanakan alokasi 20 juta hektare lahan untuk pengembangan pangan, energi, dan air, yang diharapkan dapat memperkuat kontribusi sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sekaligus mendukung transisi energi.
Di tengah berbagai dinamika ini, revisi Undang-Undang (UU) Kehutanan tahun ini menjadi salah satu agenda utama dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Rencana revisi ini mencakup delapan fokus utama, yang berorientasi pada swasembada energi, antara lain alokasi kawasan hutan produksi untuk pengembangan energi biomassa berkelanjutan, insentif fiskal bagi proyek energi hijau berbasis hutan, serta penguatan hak masyarakat adat melalui kemitraan yang menguntungkan. Tak ketinggalan, regulasi ketat terkait perlindungan lingkungan dan pencegahan deforestasi juga menjadi bagian penting dari revisi ini.
Rokhmin Dahuri, anggota Komisi IV DPR RI, menegaskan bahwa untuk memastikan sektor kehutanan menjadi motor penggerak ekonomi yang berkelanjutan, sejumlah pembenahan harus dilakukan.
“Pertama, tata ruang kehutanan harus diperkuat melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Kedua, pemanfaatan hutan harus didasarkan pada prinsip silvikultur yang tepat,” ungkapnya dalam acara yang diselenggarakan Indonesia Parliamentary Center pada 21 Februari lalu. Ia juga menyoroti pentingnya penguatan rantai suplai industri kehutanan serta keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan.
Selama ini, regulasi kehutanan di Indonesia dianggap lebih berpihak pada kepentingan korporasi besar, sementara masyarakat adat yang sudah lama bergantung pada hutan seringkali terpinggirkan.
Anggi Putra Prayoga, juru kampanye Forest Watch Indonesia, mengungkapkan bahwa revisi kebijakan ini harus menjadikan pengelolaan hutan lebih inklusif dan berkeadilan. “UU Kehutanan selama ini merupakan warisan kolonialisme yang digunakan untuk merampas tanah masyarakat adat,” tegasnya.
Senada dengan Anggi, Erwin Dwi Kristianto dari Huma menambahkan bahwa UU Kehutanan perlu mengalami perubahan paradigma untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi sejak era kolonial.
“UU Kehutanan yang baru harus memperbaiki ketimpangan ini. Hak masyarakat adat harus diakui dan dipenuhi,” ujarnya.
Organisasi masyarakat sipil juga menegaskan bahwa revisi UU Kehutanan harus jelas berpihak pada perlindungan hutan dan hak masyarakat adat. Tanpa perubahan mendasar, RUU ini berisiko hanya menjadi alat bagi korporasi untuk mengeksploitasi sumber daya hutan di bawah dalih transisi energi dan ketahanan pangan.
Oleh karena itu, DPR, pemerintah, dan masyarakat sipil harus memastikan bahwa revisi ini mendukung keadilan iklim, perlindungan keanekaragaman hayati, serta komitmen terhadap pengurangan emisi.
Keberhasilan revisi UU Kehutanan ini akan menjadi penentu masa depan hutan Indonesia, di mana kelestarian ekosistem dan kesejahteraan masyarakat dapat berjalan seiring dengan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.