Lombokvibes.com, Mataram- Kesadaran yang rendah tentang hubungan antara panas dan kecemasan lingkungan memerlukan strategi yang lebih komprehensif dalam kampanye.
Sudah sangat dipahami bahwa panas ekstrem membawa dampak buruk bagi kesehatan kita.
Saat bumi menghangat — 2023 adalah tahun terpanas yang tercatat dan 2024 tampaknya akan menjadi lebih buruk — risiko juga meningkat.
Gelombang panas memperburuk kondisi kesehatan yang sudah ada dan berkontribusi pada masalah baru, termasuk penyakit pernapasan dan kardiovaskular, sengatan panas, dehidrasi, dan bahkan kematian.
Suhu tinggi juga dikaitkan dengan peningkatan agresivitas, kejahatan kekerasan, rawat inap karena gangguan mental, dan bunuh diri.
Asia adalah salah satu wilayah yang paling rentan di planet ini. Sebuah studi yang menggunakan data dari 43 negara mendapati hampir setengah (48,95 persen) kematian akibat gelombang panas terjadi di Asia, dengan kluster yang cukup besar di Asia Selatan.
Sebuah studi lain di Vietnam perkotaan mengkaji bagaimana gelombang panas mempengaruhi rawat inap untuk gangguan mental dan perilaku dari tahun 2017 hingga 2019.
Studi menunjukkan bahwa rawat inap untuk gangguan mental dan perilaku meningkat sebesar 62 persen selama gelombang panas dan 8 persen akibat pengalaman gelombang panas itu sendiri, meskipun suhu telah kembali normal.
Orang-orang berusia 18-60 tahun lebih terpengaruh pada hari-hari panas, dengan risiko lebih tinggi untuk dirawat di rumah sakit akibat gangguan kecemasan dan stres. Mereka yang berusia 61 tahun ke atas lebih terpengaruh oleh paparan panas yang berkepanjangan, dengan kecemasan dan masalah kesehatan mental lainnya semakin memburuk dalam kelompok ini.
Suhu ekstrem juga membawa stres psikologis dan kecemasan, yang berkontribusi pada meningkatnya kecemasan ekologis (eco-anxiety) di wilayah-wilayah ini.
Merasa kurang darurat
Tetapi ada paradoksnya. Setidaknya, di Indonesia kecemasan lingkungan tidak dianggap sebagai masalah yang mendesak.
Pemantauan data media sosial di Monash Indonesia Data and Democracy Research Hub Indonesia mencermati rendahnya urgensi kecemasan ekologis terus berlanjut hingga saat ini.
Suhu harian meningkat pada akhir tahun 2023 dan enam bulan pertama tahun 2024. Meskipun ada peningkatan jumlah diskusi tentang perubahan iklim, kecemasan lingkungan tampaknya tidak menjadi perhatian utama dalam diskusi publik di Indonesia.
Lonjakan dalam diskusi seringkali dikaitkan dengan politik, promosi perawatan diri, atau berita selebriti, daripada dampak panas terhadap kesejahteraan. Sebenarnya, sebagian besar percakapan teralihkan oleh wacana politik. Ini dapat dimaklumi mengingat iklim politik yang semakin memanas di Indonesia.
Kecemasan lingkungan atau ketakutan kronis akan bencana lingkungan, mendapatkan perhatian yang sangat besar seiring dengan semakin jelasnya dampak perubahan iklim.
Istilah ini dipopulerkan oleh filsuf lingkungan Glenn Albrecht, yang memperkenalkan “solastalgia” pada tahun 2005 untuk menggambarkan kecemasan yang disebabkan oleh perubahan lingkungan.
Pada awal 2000-an, psikoanalis Harold Searle menekankan dampak psikologis yang mendalam dari degradasi lingkungan, menyoroti hubungan antara manusia dan alam.Pada tahun 2018, Pihkala mengartikan kecemasan ekologis sebagai respons yang alami dan rasional terhadap ancaman lingkungan. Ini membedakan dari emosi terkait seperti rasa bersalah ekologis dan kesedihan ekologis.
Di belahan selatan dunia, urgensi kecemasan ekologi terkait panas seringkali lebih samar dan biasanya terhubung secara tidak langsung dengan dampak fisik dari panas dan perubahan iklim.
Petani juga berisiko
Di negara-negara Asia Selatan, dimana gelombang panas semakin sering dan parah, panas tersebut berdampak signifikan pada kesehatan dan produktivitas petani. Kondisi cuaca ekstrem dapat menyebabkan kegagalan panen, yang pada gilirannya menyebabkan tekanan ekonomi dan psikologis.
Dengan masyarakat yang menghadapi ketidakamanan pangan dan air, pengungsian, serta kehilangan mata pencaharian, negara-negara di belahan selatan dapat mengalami kecemasan akibat ketidakamanan mata pencaharian mereka saat ini, alih-alih kecemasan tentang masa depan jangka menengah hingga panjang seperti yang biasanya dilaporkan di belahan utara.
Masalah-masalah ini diperburuk oleh ketidaksetaraan sistemik, termasuk fasilitas yang tidak memadai untuk mengatasi dampak panas dan kurangnya informasi tentang cara melindungi diri dari stres terkait panas.
Sebuah penilaian mengenai pengetahuan tentang perubahan iklim dan kesehatan di kalangan remaja di Yogyakarta, mengungkapkan pemahaman yang rendah dan tidak konsisten tentang perubahan iklim dan dampaknya terhadap kesehatan.
Dilakukan pada tahun 2016 dengan 508 siswa sekolah menengah atas, penelitian tersebut menemukan bahwa hanya 15 persen responden yang memandang perubahan iklim sebagai masalah yang signifikan, dengan banyak yang memprioritaskan kemiskinan dan kelangkaan pangan.
Sebuah survei global pada tahun 2019 dengan 12.246 peserta dari 32 negara, termasuk Indonesia, mendapati di antara responden Indonesia yang berusia 10-17 tahun, 14,8 persen merasa ketegangan yang “amat sangat” atau “ekstrem”, 28,7 persen merasa cemas, 42,9 persen merasa khawatir, dan 29,6 persen merasa ketakutan tentang perubahan iklim.
Ini menekankan beban yang semakin meningkat dari kecemasan lingkungan di Indonesia, meskipun studi terakhir tidak menemukan apakah perubahan iklim masih dianggap sebagai masalah yang kurang signifikan bagi remaja Indonesia dibandingkan tantangan sosial mendesak lainnya seperti kesulitan ekonomi dan akses makanan yang tidak memadai.
Remaja paling banyak mendapatkan informasi tentang perubahan iklim dari diskusi keluarga dan media digital. Sementara sebagian besar peserta mengenali dampak kesehatan dari polusi udara dan cuaca ekstrem, terdapat kesadaran yang terbatas mengenai hubungan antara perubahan iklim dan penyakit tidak menular, termasuk kesehatan mental.
Para peneliti dan aktivis iklim di Indonesia telah secara aktif bekerja untuk meningkatkan kesadaran para politisi tentang dampak perubahan iklim, terutama menjelang kampanye presiden pada awal 2024.
Mereka mendesak partai politik untuk memprioritaskan perubahan iklim dalam pesan mereka dan menghubungkannya dengan isu-isu populis mendesak seperti ketidakamanan pangan.
Menargetkan politisi
Para peneliti dari Monash Climate Change Communication and Research Hub (MCCRH) di Indonesia memperkenalkan sebuah buku panduan yang dirancang untuk membantu para politisi berkomunikasi secara efektif mengenai perubahan iklim pada hari pertama pendaftaran calon presiden pada bulan Oktober 2023.
Meskipun sudah ada upaya yang terkoordinasi ini, perubahan iklim belum diakui secara luas sebagai isu politik yang menarik yang dapat meningkatkan elektabilitas calon presiden dan legislatif, terutama di kalangan pemilih muda yang baru pertama kali.
Tingkat kepedulian ekologis yang rendah di kalangan politisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Kami tidak dapat menemukan catatan yang menunjukkan bahwa perubahan iklim dan dampaknya, termasuk kecemasan ekologis, telah menjadi bagian dari kampanye politik di negara-negara belahan bumi selatan selama 20 tahun terakhir.
Wacana ini menawarkan perspektif baru bagi para aktivis dan peneliti di belahan bumi selatan, mendorong mereka untuk membingkai isu kecemasan ekologis dengan cara yang berbeda dari pesan-pesan di negara-negara di belahan utara. .
Hasil terbaru dari COP 28 dan Perjanjian Paris menyoroti perlunya penyesuaian kampanye kesadaran ekologis di belahan bumi selatan, yang menangani tantangan sosial-ekonomi dan lingkungan dengan cara yang unik. Keduanya menekankan aksi iklim yang lebih baik untuk wilayah tertentu, mengakui juga bahwa kemajuan global belum cukup untuk mencapai target.
“Hari Kesehatan” menekankan pentingnya mengintegrasikan strategi kesehatan dan iklim untuk mengatasi kecemasan ekologis dan ketidaksetaraan kesehatan di populasi yang rentan.
Penetapan akan adanya dana kerugian dan kerusakan lingkungan menekankan pengakuan global terhadap dampak perubahan iklim yang tidak seimbang pada negara-negara berkembang, mendorong kampanye yang memberikan dukungan nyata yang sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi regional.
Setelah Perjanjian Paris dan COP 28, negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mulai mengintegrasikan strategi ketahanan iklim dan kesehatan. Namun, penanganan kecemasan ekologis tetap didorong terutama oleh gerakan akar rumput dan LSM.
Untuk mengatasi dampak kesehatan mental akibat perubahan iklim secara keseluruhan, keterlibatan pemerintah yang lebih kuat dan kemauan politik yang tegas sangatlah penting.
Kampanye kesehatan nasional dapat selaras dengan strategi sosial-ekonomi untuk memastikan kebijakan yang ramah lingkungan yang mengurangi kecemasan terhadap ancaman lingkungan dan meningkatkan ketahanan komunitas.(*)