Lombokvibes.com, Jakarta– Sepanjang tahun 2023, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) setidaknya menemukan 2.330 hoaks beredar di media sosial. Dari angka tersebut, tercatat 1.292, 645 diantaranya merupakan hoaks politik terkait Pemilu 2024.
“Jumlah hoaks politik itu dua kali lipat lebih banyak dibandingkan hoaks sejenis pada musim Pemilu 2019 sebanyak 644,” ujar Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho, (1/2/2024).
Dia menjabarkan, persentase hoaks politik tahun 2023 sebanyak 55.5% yang ditemukan Mafindo, selain menjadi yang tertinggi, juga memposisikan hoaks politik kembali mendominasi topik hoaks pasca-2019.
“Pada masa pandemi (2020-2022), hoaks politik sempat turun rata-rata di bawah 33%. Masifnya hoaks politik mengganggu demokrasi di Indonesia, mengacaukan kejernihan informasi, dan dapat mengajak orang menolak hasil pemilu. Karenanya upaya komprehensif perlu dilakukan untuk mencegah dan menangani hoaks untuk menjaga kedamaian Pemilu 2024,” jelasnya lagi.
Lebih jauh disebutkannya, temuan hoaks tertinggi bersumber dari Youtube. Platform Youtube menjadi tempat ditemukan hoaks terbanyak, sejumlah 44.6%, diikuti oleh Facebook (34.4%), Tiktok (9.3%), Twitter atau X (8%), Whatsapp (1.5%), dan Instagram (1.4%).
“Dominasi konten hoaks berupa video menjadi tantangan besar bagi ekosistem periksa fakta, karena konten hoaks video cepat sekali viral karena sering dibumbui dengan elemen yang emosional. Sedangkan upaya periksa fakta konten video membutuhkan proses yang lebih lama ketimbang foto atau teks,” katanya.
Sementara, Ketua Komite Litbang Mafindo, Nuril Hidayah yang akrab disapa Vaya, menjelaskan, menjelang pemungutan suara dalam Pemilu 2024, konten yang dibuat dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) pun sudah muncul, seperti video deepfake pidato Presiden Jokowi dengan bahasa Mandarin, maupun rekaman suara Anies Baswedan dan Surya Paloh yang dibuat dengan AI.
Dia mengatakan, yang membedakan hoaks pada Pemilu 2024 dan Pemilu 2019 adalah dominasi konten video.
“Pada Pemilu 2019, hoaks kebanyakan berupa foto atau gambar,” ujar Vaya.
Dia mengakui hal ini menjadi tantangan pemeriksa fakta. Proses periksa fakta konten video lebih rumit dan lama, dan bisa mengaduk-aduk emosi.
“Terlebih konten hoaks yang dibuat menggunakan AI, tidak mudah untuk bisa mendapatkan kesimpulan apakah itu hoaks atau bukan,” kata Vaya. (**)