Lombokvibes.com, Bogor– Banjir yang melanda Kawasan Puncak Bogor bukan hanya akibat hujan deras, melainkan akibat kegagalan kebijakan dan eksploitasi alam yang semakin merusak. Ketika Sungai Ciliwung meluap, merendam pemukiman dan mengganggu jalur utama antara Bogor dan Puncak, ini bukan sekadar bencana cuaca, melainkan manifestasi dari kerusakan lingkungan yang telah berlangsung lama dan semakin diperparah oleh alih fungsi lahan yang tidak terkendali.
Forest Watch Indonesia (FWI) baru-baru ini mengungkapkan fakta mencengangkan: kerusakan hutan di hulu-hulu DAS Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane telah mencapai 2.300 hektare dalam periode 2017-2023. Kerusakan ini merampas kemampuan alam untuk menyerap air, memperburuk aliran permukaan, dan mempercepat terjadinya banjir. Hutan yang seharusnya menjadi penampung air dan penyeimbang ekosistem kini hancur karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan, villa, dan kawasan wisata.
Menurut Tsabit Khairul Auni, pengkampanye Hutan FWI, keberadaan hutan sangat vital untuk menyerap air hujan dan menahannya dalam tanah. Tanpa hutan, air langsung mengalir ke sungai, meningkatkan risiko banjir yang merendam kawasan-kawasan padat penduduk seperti di Jakarta, Bekasi, dan kawasan Puncak Bogor.
“Alih fungsi lahan—dari perkebunan teh yang menjadi kawasan wisata atau pemukiman—hanya memperburuk situasi, menghalangi air untuk meresap ke dalam tanah,” jelasnya.
Dia lebih jauh menjelaskan,kerusakan ini juga didorong oleh kebijakan yang memberi ruang bagi konversi hutan menjadi kawasan budidaya dan hutan produksi. Hutan di tiga DAS utama, Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane, yang seharusnya berfungsi untuk konservasi air dan tanah, kini lebih diutamakan untuk menghasilkan kayu dan komoditas lainnya.
Kebijakan ini malah membuka pintu bagi kerusakan lingkungan yang terencana, mengesampingkan dampak jangka panjang terhadap kehidupan masyarakat dan ekosistem.
Selain itu, perubahan kebijakan tata ruang juga menjadi faktor yang memperparah kerusakan ini. Peraturan Daerah (Perda) RTRW Kabupaten Bogor yang baru mengubah kawasan lindung menjadi kawasan budidaya, mengizinkan pembangunan lebih bebas, dan semakin mengurangi fungsi hutan sebagai daerah resapan air.
“Sebagai contoh, di kawasan Puncak Bogor, konversi kebun teh yang dulu berfungsi sebagai daerah resapan air menjadi kawasan wisata seperti “Hibisc Fantascy Puncak” mengancam kelestarian alam dan meningkatkan potensi banjir,” jelasnya.
Dalam keadaan ini, hutan tidak hanya dilihat sebagai komoditas, melainkan juga sebagai komponen vital dalam sistem penyangga kehidupan yang harus dilindungi. FWI mencatat, sisa hutan alam di DAS Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane kini hanya menyisakan kurang dari 30% dari luas DAS. Hutan yang dulunya berfungsi untuk konservasi dan perlindungan air kini telah berkurang drastis. Di hadapan ancaman banjir dan kerusakan lingkungan yang semakin parah, Indonesia harus segera mengambil langkah tegas.
“Pemerintah dan masyarakat harus berkolaborasi untuk menghentikan laju kerusakan alam ini. Perlindungan hutan harus menjadi prioritas, dan kebijakan yang lebih berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam harus diimplementasikan segera. Tanpa perubahan ini, bencana seperti banjir di Puncak Bogor hanya akan menjadi puncak gunung es dari krisis lingkungan yang jauh lebih besar,” tegasnya.