Kisah pilu Bunga, alami pelecehan berujung trauma hingga dijerat UU ITE karena status Facebook

Lombokvibes.com, Mataram– Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sebut saja Bunga, salah satu gadis cantik di Lombok mengalami pelecehan seksual oleh atasannya hingga berujung trauma berat.

Bunga yang baru berusia 23 tahun itu, terkulai lemas di ranjang Rumah Sakit (RS). Ia nampak pucat dan murung. Tak tanggung-tanggung, berat badannya pun turun drastis hingga 6 (enam) kilogram karena tak kuasa menanggung beban pikiran usai dilaporkan ke Polisi imbas curhat di akun media sosial mengenai pelecehan dirinya.

Sang ibu, DSW, yang menemani di RS tampak tak karuan. Rasa sedih, amarah dan kecewa yang berkecamuk nampak di raut wajahnya.

Bunga sebetulnya sudah lama memendam rasa sedih dan trauma akibat dilecehkan pada saat training di salah satu hotel, sebut saja hotel itu bernama Roma Lodge.

Ia sudah pernah mengaku pada ibunya, bahwa terduga predator seksual AD (33 tahun) di tempat praktiknya beberapa kali memegang paha hingga kerap melontarkan kalimat-kalimat pelecehan lain yang termasuk pada kekerasan seksual verbal.

AD, yang merupakan seorang manajer Roma Lodge, sampai mengajak Bunga mandi bersama agar bisa menunjukkan alat vit4lnya.

“Ayo kita manding bareng, biar bisa lihat tengkong (jamur) besar,” cerita Bunga meniru kalimat AD.

Upaya Bunga Mencari Keadilan hingga Ditekan Polisi untuk Mencabut Laporan

Sabtu malam (25/2/2023), Bunga bersama keluarganya sempat mencoba meminta pertanggungjawaban kepada terduga predator tersebut. Namun, sang predator hanya mengatakan khilaf dan meminta maaf secara ketus agar permasalahan tersebut selesai.

“Saya tidak terima, dan saya mengadu ke Lembaga Perlindungan Anak dan Perempuan,” ujar Bunga ke wartawan Lombokvibes.com Mei 2024.

Lembaga UPTD PPA pun menemani Bunga untuk melapor ke pihak kepolisian pada 31 Maret 2023. Laporan tersebut pun dikonfirmasi telah diterima hingga pihak kepolisian melakukan rekonstruksi di Roma Lodge pada 11 April 2023.

Selama proses yang dilakukan oleh pihak penyidik tersebut, Bunga kerap mendapatkan tekanan. Bahkan, ia mengaku telah didatangi 3 (tiga) orang polisi ke rumahnya.

Para pria berseragam cokelat tersebut membentak Bunga dan mendesaknya agar mencabut laporan.

“Saya sangat tertekan dan ketakutan, saya dibentak-bentak, saya disuruh tandatangan. Saya takut sekali,” ujar Bunga terisak mengingat kejadian pilu itu.

Laporan Bunga Tidak Cukup Bukti

Surat pilu diterima oleh Bunga. Unit PPA pihak kepolisian melayangkan SP2HP bahwa penyelidikan tidak dapat dilanjutkan karena tidak cukup bukti.

Dalam surat tersebut, pihak kepolisian juga menerangkan sejumlah saksi yang diperiksa. Namun, beberapa saksi yang sebelumnya mendengar laporan pelecehan yang dialami Bunga luput dari pemeriksaan polisi.

Kecewa, sudah tentu. Bunga merasa tidak adil. Pelecehan yang dialaminya membuatnya merasa ternodai dan memberi tekanan batin yang luar biasa. Sementara, pelaku luput dari penyelidikan polisi.

Rasa amarah dan kekecewaan Bunga ia lampiaskan melalui status media sosial Facebook. Dari status Facebook tersebut, beberapa korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh sang predator yang sama juga tiba-tiba mengaku. Namun, mereka tidak berani bersuara dan melapor.

“Ada tiga orang, dipeluk, dicium, dipegang k3m4lu4nnya juga,” kata Bunga bercerita.

Bunga mengatakan, mereka (para korban, red) malu dan takut mengaku, karena sudah berkeluarga. Mereka takut mencoreng nama baik keluarga dan dipandang sebelah mata.

“Malu gitu, karna sudah berkeluarga. Saya punya bukti kok si predator pegang-pegang p4ha istri orang, sudah bersuami,” terang Bunga panjang lebar.

Beberapa hari setelah ia membuat status tersebut, ia pun mencoba menghapusnya agar bisa melupakan kejadian itu.

Namun, status yang pernah dimuatnya ternyata menyeret namanya menjadi tersangka kasus UU ITE. Terduga predator melaporkan Bunga ke pihak kepolisian.

Bunga kaget bukan kepalang. Pelecehan yang dialaminya membuatnya seolah menjadi pelaku kejahatan, sementara nyatanya, dia adalah korban kejahatan seksual.

“Saya kaget sekali, tiba-tiba jadi tersangka,” kata Bunga.

Kronologis Bunga yang merupakan korban kejahatan seksual menjadi tersangka UU ITE bermula ketika sang ayah SF menerima Surat Panggilan tanggal 26 April 2024.

Surat tersebut menerangkan bahwa Bunga harus diperiksa sebagai Tersangka tanggal 2 Mei 2024 dengan dilampiri Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka terhadap Bunga tanggal 5 Desember 2023 atas laporan polisi tanggal 20 September 2023 lalu.

Ayah Bunga terkejut bukan main, mengingat anaknya adalah korban pelecehan namun kemudian tiba-tiba dijadikan tersangka.

Kuasa Hukum Bunga soroti Pemeriksaan Bunga sebagai Tersangka tanpa SPDP dan Cacat Hukum

(Foto: Yan Mangandar Putra SH., MH., salah satu kuasa hukum/dok.facebook Yan Mangandar)

Koalisi Suara Pembelaan untuk Korban UU ITE NTB (SEPAK ITE NTB) yang terdiri dari BKBH FHISIP UNRAM, WALHI NTB, PBHM NTB, SAFEnet, PAKU ITE, LKBH FH UMMAT, dan SAPANA, menyoroti proses hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Terutama pemeriksaan dan penetapan Bunga sebagai tersangka UU ITE.

Kuasa Hukum Bunga, Yan Mangandar Putra SH., MH., menyebut,  Surat Perintah Penyidikan dengan Nomor: SP.Sidik/141/IX/2023/Ditreskrimsus tanggal 25 September 2023 dan Surat Perintah Tugas Nomor: SP.Gas/142/IX/2023/Ditreskrimsus tanggal 25 September 2023, berlaku sampai 24 Desember 2023 tanpa ada Surat Perintah Penyidikan Lanjutan.

“Sehingga, penyidik tidak memiliki kewenangan melakukan tindakan penyidikan apapun termasuk pemeriksaan terhadap Tersangka yang dilakukan pada tanggal 26 Maret 2024,” tegas Yan Mangandar.

Dia juga menyebut, penerbitan Surat Panggilan Nomor: S.Pgl/106/IV/2024/Ditreskrimsus tanggal 26 April 2024 untuk korban diperiksa sebagai Tersangka tanggal 2 Mei 2024 dengan dilampiri Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka pada tanggal 5 Desember 2023 juga dinyatakan berakhir per 24 Desember 2023, maka secara otomatis surat pemberitahuan penetapan tersangka tersebut tidak berlaku.

” Untuk itu, ketiga tindakan penyidik yaitu penetapan tersangka, pemeriksaan terhadap tersangka dan surat panggilan adalah cacat hukum!” tekannya.

Dia juga menyoroti tidak pernah adanya SPDP yang diserahkan penyidik ke Bunga selaku terlapor. Hal ini telah melanggar ketentuan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 130/PUU-XIII/2015, tanggal 11 Januari 2017 menentukan kaidah hukum bahwa Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.

“Ternyata SPDP lebih dulu dibuat tanggal 3 Juli 2023,” kata Yan lagi.

Dia pun bersama tim koalisi saat ini tengah mengupayakan agar status tersangka terhadap Bunga dicabut oleh Polda NTB serta laporan kasus pelecehan Bunga naik status ke tahap penyidikan mengingat sudah 3 (tiga) saksi yang telah diperiksa.

“Semoga dengan tetap berjalannya proses hukum ini, Bapak Direktur Ditreskrimsus dan Bapak Kapolda NTB untuk segera mencabut status tersangka dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan/SP3 yang nyatanya merupakan korban kekerasan seksual yang sudah jauh lebih dulu melaporkan kasusnya sebelum pelaporan kasus ITE,” pungkasnya. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *