Lombokvibes.com, Colombia- Tanggal 21 November Merupakan Hari pertama dari Conference of Parties Convention of Biological Diversity (COP CBD). Negara-negara parties termasuk Indonesia sudah berhasil membuat National Biodiversity Strategic Action Plan dan Merealisasikannya ke Secretariat CBD sebagai bentuk komitmennya mencapai “Living Harmony With Nature”
Dalam COP16 di Cali, Kolombia, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Indonesia menyerukan kepada masyarakat global untuk memperkuat tekad dan melaksanakan tindakan konkret.
Berikut aadalah daftar seruan masyarakat sipil Indonesia pada COP16:
Mobilisasi Sumber Daya untuk Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal
Sumber daya yang memadai harus dialokasikan untuk mendukung upaya masyarakat adat dan komunitas lokal dalam melestarikan keanekaragaman hayati dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
Pengakuan dan dukungan terhadap kontribusi
Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam melestarikan keanekaragaman hayati sangat
penting untuk memastikan pendanaan internasional sampai kepada penerima manfaat yang tepat. Saat ini, mekanisme pendanaan belum mampu menjangkau Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal secara luas. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme alternatif untuk memberikan akses langsung pendanaan kepada Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal melalui implementasi Kerangka Keanekaragaman Hayati
Global Kunming-Montreal (KM-GBF).
Target 19 dari KM-GBF memandatkan adanya
pendanaan yang memadai untuk mendukung
implementasi strategi dan rencana aksi
keanekaragaman hayati, dengan target
pendanaan hingga USD 200 miliar per tahun
pada tahun 2030 melalui berbagai skema
pembiayaan. Saat ini, ada upaya untuk
memperkenalkan mekanisme berbasis pasar
seperti kredit keanekaragaman hayati
(biodiversity credit), offset keanekaragaman
hayati (biodiversity offset), dan instrumen pasar lainnya untuk mendukung implementasi KM- GBF, seperti yang disebutkan dalam Target
19(d). Namun, mekanisme berbasis pasar ini
berisiko tinggi dan berpotensi menyebabkan hilangnya mata pencaharian Masyarakat Adat
dan Komunitas Lokal dan melanggengkan
praktik-praktik perampasan lahan untuk alasan
lingkungan (green grabbing) akibat tidak
dilaksanakannya PADIATAPA. Berbagai
mekanisme pasar ini juga bertentangan dengan konsep hak tenurial Masyarakat Adat serta perspektif mereka tentang pengelolaan hutan dan sumber daya alam.
Para pemangku kepentingan harus fokus pada
upaya untuk meningkatkan tata kelola
keanekaragaman hayati, mendorong mekanisme non-pasar, dan mengarusutamakan pendekatan berbasis hak. Upaya meningkatkan dan mobilisasi pendanaan juga harus mengutamakan aktor aktor yang berkontribusi pada konservasi keanekaragaman hayati, seperti Masyarakat Adat, Komunitas Lokal, perempuan,
dan kaum muda. Hal ini dapat dicapai dengan
membangun mekanisme pendanaan yang
memadai, sederhana, transparan, dan akuntabel yang dapat diakses secara langsung oleh komunitas.
Saat ini, mekanisme pendanaan bagi
Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal belum
mampu menjangkau komunitas secara luas.
Oleh karena itu, perlu dikembangkan mekanisme alternatif untuk memastikan komunitas mendapatkan akses langsung ke pendanaan untuk mengimplementasikan KM-GBF.
Mengakui Kontribusi Masyarakat Adat
dan Komunitas Lokal dalam Konservasi
dan Pemanfaatan Keanekaragaman
Hayati
Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal,
termasuk petani tradisional, nelayan
kecil/tradisional, masyarakat desa, perempuan
pedesaan, dan kaum muda, memainkan peran
penting dalam konservasi keanekaragaman
hayati dan pemanfaatan sumber daya secara
berkelanjutan.
Selama ribuan tahun, Masyarakat Adat telah mempraktikkan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional untuk mengelola sumber daya alam.
Studi menunjukkan bahwa pengetahuan tradisional ini lebih efektif dan
tangguh dalam menghadapi krisis seperti
hilangnya keanekaragaman hayati dan
perubahan iklim. Kearifan lokal ini dapat
ditemukan di berbagai jenis ekosistem di
Indonesia, termasuk wilayah pesisir, hutan,
lahan, sungai, dan danau, misalnya Tana’ Ulen, Tembawang, Leuweung, Tutupan/Titipan, Sasi,
Awig-Awig, Lubuk Larangan, dan Panglima Laot.
Pada Oktober 2024, WGII mencatat sekitar
561.026 hektare wilayah yang dilindungi dan
dikelola secara berkelanjutan oleh Masyarakat
Adat dan Komunitas Lokal (Indigenous and Local Communities-Conserved Areas atau ICCAs).
Selain wilayah yang sudah terdaftar, WGII telah
mengidentifikasi potensi ICCAs yang luasnya
mencakup 22,57 juta hektare. Sekitar 52%
kawasan dengan nilai konservasi tinggi dikelola oleh Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, di mana 68,4% wilayah tersebut masih berupa hutan alam.
Meskipun Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal berperan besar dalam menjaga alam dan
keanekaragaman hayati di dalamnya, hak-hak
mereka masih belum diakui secara penuh.
Hingga Agustus 2024, hanya 16% dari Wilayah
Adat telah mendapatkan pengakuan hukum
formal (BRWA, 2024). Dari total potensi hutan
adat seluas 23 juta hektare, baru 265.250 hektare yang telah ditetapkan secara resmi. Proses pengakuan yang rumit dan memakan waktu menjadi salah satu penyebab belum
terpenuhinya hak-hak Masyarakat Adat.
Sementara itu, Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal terus menghadapi ancaman perampasan lahan dan perusakan ekosistem yang menjadi tumpuan hidup mereka. Sekitar 22% atau 6,7 juta hektar Wilayah Adat tumpang tindih dengan industri ekstraktif seperti perkebunan, pertambangan, dan penebangan kayu.
Oleh karena itu, mengamankan hak tenurial
Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal menjadi
sangat penting untuk melestarikan
keanekaragaman hayati yang tersisa dan
mendukung pencapaian KM-GBF melalui penerapan PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan). Tuntutan ini juga diperkuat dengan dorongan untuk mengadopsi Program Kerja dan pembentukan Subsidiary Body dari Article 8(j) untuk memastikan perlindungan penuh dan efektif terhadap pengetahuan tradisional serta hak-hak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal melalui implementasi Bagian C KM-GBF.
Menghentikan Pemicu Hilangnya Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati Indonesia – baik di darat maupun laut – menghadapi ancaman serius akibat berbagai aktivitas industri ekstraktif skala besar.
Operasi industri ekstraktif seringkali tumpang tindih dengan Wilayah Adat, kawasan
konservasi, dan ekosistem penting. Melonjaknya permintaan global atas komoditas, termasuk komoditas terkait transisi energi semakin memicu deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati
di Indonesia. Kami mendesak Pemerintah
Indonesia untuk memastikan pelibatan penuh dan efektif Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perlindungan Keanekaragaman Hayati, baik di darat maupun laut dan pesisir.
Hal ini harus tercermin antara lain dalam item
Kebijakan Konservasi dan Pemanfaatan
Berkelanjutan Keanekaragaman Hayati Laut,
Pesisir, dan Kepulauan maupun berbagai
kebijakan di tingkat nasional.
Terlepas dari kontribusi Masyarakat Adat dan
Komunitas Lokal dalam melestarikan
keanekaragaman hayati yang tersisa, Indonesia masih menghadapi ancaman serius terhadap keanekaragaman hayatinya akibat aktivitas industri yang masif. Sekitar 100,9 juta hektare lahan dan kawasan laut saat ini berada di bawah izin industri ekstraktif. Hal ini menimbulkan risiko serius bagi ekosistem alam Indonesia.
Dari jumlah tersebut, 55,5 juta hektare izin industri ekstraktif berada di daratan, dan 45,4 juta hektare di wilayah laut. Belum lagi munculnya ancaman tambahan dari berbagai proyek strategis nasional seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), ekspansi tambang mineral penting (critical minerals), produksi biomassa, lahan pangan, bendungan, dan peternakan skala besar.
Berbagai aktivitas ekstraktif ini ditopang
berbagai bentuk pendanaan, termasuk subsidi
dari negara dan pembiayaan dari berbagai
lembaga keuangan seperti bank, perusahaan
asuransi, dan dana pensiun.
Berbagai regulasi dan kebijakan nasional seperti Undang-Undang Cipta Kerja, UU Pertambangan, co-firing, proyek Food Estate, dan hilirisasi pertambangan semakin mempermudah aktivitas yang mengancam keanekaragaman hayati dengan menyederhanakan proses perizinan.
Industri-industri ini tidak hanya tumpang tindih
dengan Wilayah Adat, tetapi juga dengan 1,05
juta hektare kawasan konservasi dan 20,58 juta hektare ekosistem penting seperti koridor satwa liar, lahan basah, taman keanekaragaman hayati, dan key biodiversity areas. Sebagai contoh, di kawasan pertambangan nikel, terdapat 18
spesies ikonik yang terancam punah akibat
aktivitas pertambangan. (*)