Lombokvibes.com, Lombok Barat– Pulau Lombok memiliki sejumlah tradisi adat dan dan budaya yang diwariskan oleh para leluhur hingg saat ini. Salah satunya adalah tradisi perang topat di Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.
Perang topat ini merupakan perang suka-suka dengan menggunakan ketupat sebagai senjatanya.
Tradisi ini masih dipertahankan sebagai bagian dari warisan budaya yang berfokus pada toleransi, semangat gotong royong, dan kebersamaan masyarakat.
Dalam tradisi ini, umat Hindu dan Islam dilibatkan. Ummat Islam dan Hindu berperang menggunakan ketupat, sebagai simbol kekuatan toleransi umat beragama di Kecamatan Lingsar.
Perang Topat bukanlah perang yang menggunakan senjata, melainkan sebuah bentuk luapan kegembiraan masyarakat dengan saling melempar menggunakan ketupat.
Ritual ini dilaksanakan setiap tahun pada bulan Purname Sasih ke Pituq menurut kalender Sasak, atau sekitar bulan November atau Desember setelah selesainya Pedande Mapuje, yaitu pada saat Roroq kembang Waru (gugurnya bunga waru).
Pada tahun 2023 ini, puncak ritual Perang Topat akan berlangsung pada hari Senin, 27 November. Adapun rangkaian acara jelang perang Topat tahun ini seperti yang dikutip dari laman Badan Promosi Pariwisata Daerah NTB, antara lain:
20 – 25 November : #Peresean
26 November: Pemasangan Abah Abah, Pembuatan Kebon Odek, Haul Islami, Mendak Betara, Ngeliningan Kaoq, Hiburan Rakyat dan pameran pusaka desa.
27 November: Prosesi Perang Topat diiringi dengan atraksi Seni Dan Budaya.
30 November: Melayangin, Beteteh, dan upacara Bukaq Botol Momot.
Sejarah Perang Topat
Mengutip tulisan Gegen Redrebels , Asal usul Perang Topat Menurut H.L.Azhar dalam bukunya yang berjudul Arya Banjar Getas, tradisi Perang topat di Lingsar pertama kali diadakan oleh raja Singsasari Lombok yang bertujuan untuk memperingati kemenangan Karangasem atas Pejanggik dan Selaparang. Acara itu dibuat dengan konsep perang sukan-sukan (pesta pora) dan dirangkai dengan upacara Pujawali (doa minta hujan).
Perang Pejanggik melawan Karangasem itu sendiri berlangsung dari tahun 1721 sampai dengan 1722, sedangkan perang Selaparang dengan Karangasem terjadi dari 1723 sampai dengan 1725.
H.L Azhar menyebut, setelah perang Pejanggik tahun 1722, pasukan Karangasem meninggalkan Memelak menuju Lingsar, di sini pasukan Karangasem pimpinan I Gusti Ngurah Kaba dan I Gusti Bagus Alit mendirikan pondok (pesanggrahan). Di Lingsar sendiri, pada masa itu disebutkan sudah terdapat komunitas Islam Waktu Telu. Kelak, bekas pesanggrahan I Gusti Ngurah Kaba dan I Gusti Bagus Alit itu dibangun menjadi pura, berdampingan dengan kemaliq, sebuah tempat pemujaan bagi kalangan Waktu Telu.
Singasari Sasak sendiri adalah satu dari sekian kerajaan trah Karangasem yang ada di Lombok Barat. Pada 1775, di Lombok bagian barat, muncul beberapa kerajaan bercorak Hindu Bali, empat kekuatan utama adalah Singasari Sasak, Mataram, Pagutan dan Pagesangan, dari keempat kekuatan itu, Singasari dan Mataram adalah yang terkuat.
Kembali pada keinginan raja Singasari yang ingin mengadakan perang sukan-sukan (pesta pora), yang mana tujuan utama dari acara itu adalah untuk menghilangkan dendam antara warga Islam Sasak dengan warga Hindu Bali atas perang yang berkepanjangan.
Sebetulnya tradisi perang sukan-sukan ini adalah tradisi yang telah dikenal oleh beberapa kerajaan yang ada di Lombok, jauh sebelum Singasari dan Mataram berdiri, perang sukan-sukan sudah pernah dilakukan oleh kerajaan Selaparang.
Pada tahun 1500 an, saat Selaparang diperintah Prabu Lombok, pernah terjadi perang berkepanjangan antara Demung Brang Bantun dengan raja Selaparang. Perang itu terjadi karena Demung Brang Bantun menuntut balas atas kematian saudaranya yaitu Demung Sandubaya yang secara licik dibunuh atas perintah Prabu Lombok.
Hingga kemudian, Prabu Lombok digantikan oleh Prabu Rangkasari, pada masa Prabu Rangkasari inilah, perang sukan-sukan itu diadakan untuk pertama kalinya. Disebutkan, Prabu Rangkasari berhasil mendamaikan pengikut Demung Brang Bantun dengan Selaparang, dan untuk merayakan hal tersebut, dibuatlah perang sukan-sukan dengan tujuan untuk menghapus dendam diantara dua kubu yang pernah terlibat perang.
Prabu Rangkasari memerintahkan rakyak Selaparang untuk menyiapkan berbagai jenis masakan yang berbahan dasar hewan laut, seperti ikan bakar, kepiting, cumi dan sebagainya, sedangkan rakyat Brang Bantun diperintahkan menyiapkan topat, timbung, renggi, pangan, tekel, cerorot dan sebagainya.
Begitulah, perang sukan-sukan itu akhirnya terlaksana, usai perang, kedua kubu mengadakan acara makan bersama, dan dendam diantara mereka pun berangsur-angsur sirna.
Melalui perang topat, masyarakat Lombok telah mengajarkan kita, bahwa permusuhan dalam bentuk apapun pada hakikatnya dapat diselesaikan dengan sikap riang dan suka cita.