Forest Watch Indonesia sebut transisi energi adalah bisnis baru perusak SDA di Kaltara

Aerial drone perspective of a river meandering through untouched brazilian Amazon rainforest

Lombokvibes.com, Kaltara– Perjalanan transisi energi di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi prinsip keadilan dan berkelanjutan. Hal tersebut diungkap Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga, kemarin.

Ia mengatakan, meskipun ada komitmen untuk menuju energi bersih dan berkelanjutan, kenyataannya terdapat banyak kelemahan dalam implementasi. Transisi energi dengan pembangunan HTE justru menjadi driver deforestasi.

“Proyek-proyek seperti Hutan Tanaman Energi (HTE) di Kaltara menjadi sumber kontroversi, dengan banyak pihak yang mengkritik bahwa proses penerbitan izin tidak memenuhi prinsip-prinsip konsultasi dan persetujuan bersama (FPIC), serta pengukuran dampak yang serius terhadap ekosistem dan masyarakat adat dan lokal,” tegas Anggi.

“Langkah-langkah yang ditempuh cenderung setengah hati dan tidak memadai untuk mengatasi perubahan iklim dan melindungi hutan serta keanekaragaman hayati,” tudingnya lagi.

Dijelaskannya lagi, setidaknya saat ini tercatat ada 31 perusahaan HTE di Indonesia dan 1 Perusahaan BUMN Perum Perhutani di Jawa yang berkomitmen akan menyuplai kebutuhan biomassa kayu di 52 PLTU di Indonesia. Dalam dokumen RUPTL,  Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang membutuhkan minimal 8 juta ton biomassa kayu setiap tahunnya untuk menggantikan 5 sampai 10 persen batubara.

Pembangunan HTE yang didominansi dijalankan oleh korporasi kehutanan  mengalami kecendrungan motif penguasaan hutan dan lahan semata. Perusahaan HTE hanya ingin memanen kayu yang berasal dari hutan alam dan tidak serius melakukan penanaman tanaman energi. Ini bukan soal upaya pengurangan emisi, melainkan eksploitasi alam yang berkedok “energi bersih” di tengah stagnasi bisnis kayu bulat kehutanan Indonesia.

“Dan ini merupakan potret dimana pemanfaatan biomassa kayu dari pembangunan HTE tidak memperhitungkan dampak dan keberlanjutan suplai di tengah berbagai permasalahan konsesi kehutanan di Indonesia,” ujarnya.

Pengkampanye Hutan FWI Agung Ady Setyawan menerangkan, bahwa di Kaltara terdapat satu perusahaan yang bergerak untuk memenuhi kebutuhan biomassa kayu. Sayangnya perusahaan ini dibebankan diatas hutan alam Kaltara tanpa adanya prinsip keterbukaan informasi dalam proses penerbitan izinnya. Perusahaan yang berinisial MHL ini juga tidak diketahui jenis perizinannya karena bergerak di bidang kehutanan namun dibebankan di luar kawasan hutan atau areal penggunaan lain.

“Seharusnya transparansi perizinan dibuka selebar-lebarnya agar public dapat memastikan prinsip tata kelola dijalankan dengan baik.” katanya lagi.

MHL yang statusnya di APL tengah mengusahakan proyek HTE di Kabupaten Malinau di Kaltara. Kabupaten Malinau memang saat ini menjadi target investasi dan sebagai daerah penyuplai biomassa kayu di Kalimantan Utara. MHL merupakan anak perusahaan PT Mitrabara Adiperdana Tbk, perusahaan konsesi batubara di Malinau, yang kini merambah ke usaha komoditas kayu.

Sementara, Darwis dari Green of Borneo, mempertanyakan proses penerbitan izin HTE di Kaltara yang tidak menerapkan Prinsip PADIATAPA (Free Prior Inform Concern). Menurutnya seharusnya PADIATAPA menjadi standar minimal dalam penerbitan izin. Mengingat Kaltara wilayah yang kaya akan keragaman sumber daya masyarakat adat yang lebih awal hidup dan bergantung terhadap sumber daya hutan.

“Untuk mengatasi ancaman yang ada dari pembangunan HTE di Kaltara, perlu adanya langkah-langkah konkret mengawasi pembangunan HTE mulai dari penerbitan izinnya,” katanya.

Nelwan Krisna Wardhany, Ketua Lembaga Green of Borneo, menambahkan HTE ini membawa risiko serius untuk Kalimantan Utara dengan munculnya izin baru. Kalimantan Utara seperti di wilayah Sebuku sudah terbebani dengan izin, sementara usulan-usulan pemanfaatan hutan untuk masyarakat masih menghadapi kendala, terutama terkait ketidakpastian terhadap Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang belum disahkan.

“Tidak hanya itu, perlu diwaspadai juga potensi eksploitasi di wilayah Kalimantan Utara yang dijuluki  Heart of Borneo, khususnya di Malinau. Malinau, Kalimantan Utara masih terkendala akses yang sulit sehingga pembangunan HTE dipertanyakan keseriusannya. Jangan sampai hanya motif untuk mengeksploitasi hutan alam Kalimantan Utara saja” tambah Nelwan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *