Putusan inkrah, Yayasan RSI NTB wajib bayar Rp 2,7 miliar ke kontraktor proyek SDIT Yarsi

Property of Lombokvibes media.
Property of Lombokvibes media.

Lombokvibes.com, Mataram– Sengketa panjang antara Yayasan Rumah Sakit Islam (RSI) NTB dan kontraktor Soenarijo terkait proyek pembangunan SDIT Yarsi akhirnya memasuki babak akhir. 

Setelah Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan pihak yayasan, kini putusan hukum yang mewajibkan pembayaran sisa utang sebesar Rp 2,7 miliar telah berkekuatan hukum tetap alias inkrah.

Pakar hukum Universitas Mataram, Joko Jumadi, menyatakan bahwa tidak ada lagi ruang bagi yayasan untuk menghindari kewajiban tersebut. 

“Ya, ini kasus sudah inkrah, dan putusan menyatakan bahwa Yayasan RSI harus membayar Rp 2,7 miliar kepada penggugat. Secara hukum, sekarang tinggal bagaimana eksekusi itu dilakukan,” ujarnya, Sabtu (4/5/2025).

Joko menambahkan, proses aanmaning atau teguran oleh pengadilan telah dilakukan kepada pihak yayasan. Ini merupakan langkah formal sebelum proses eksekusi lanjut, seperti penyitaan aset, diberlakukan apabila pihak termohon tidak patuh secara sukarela.

Sementara itu, kuasa hukum kontraktor Soenarijo, Satrio Edi Suryo, mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri Mataram sejak 28 April 2025. 

“Kami sempat ditawari cicilan Rp 10 juta per bulan, tapi kami tolak karena itu terlalu lama. Kami hanya bersedia maksimal 3–4 kali cicilan,” kata Satrio, Senin (5/5/2025).

Karena tidak ada kesepakatan, tim hukum penggugat telah menyerahkan daftar aset milik yayasan ke pengadilan untuk proses sita eksekusi. Aset tersebut nantinya bisa dilelang untuk menutupi sisa utang.

Di sisi lain, kuasa hukum Yayasan RSI NTB, Rio Hartono, menyatakan bahwa kliennya tidak menolak kewajiban membayar. 

“Kami menghormati putusan pengadilan. Tapi sampai hari ini belum ada teknis pelaksanaannya,” ujar Rio.

Sengketa ini bermula dari kontrak pembangunan SDIT Yarsi Mataram pada 11 Juni 2020 senilai Rp 11,2 miliar. Pada pertengahan 2021, yayasan secara sepihak menghentikan proyek yang diklaim telah mencapai progres 68,39 persen dan pekerjaan tambahan Rp 339 juta. Dari total yang seharusnya dibayar Rp 7,9 miliar, yayasan baru membayar sekitar Rp 5,2 miliar.

Soenarijo lalu menggugat dan memenangkan perkara ini dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung, termasuk dalam tahap PK. Kini, pelaksanaan eksekusi tinggal menunggu keseriusan yayasan untuk memenuhi kewajibannya sesuai putusan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *