Lombokvibes.com, Lombok Utara– Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Lombok Utara (KLU) kembali menjadi sorotan publik setelah dituding menjegal salah satu pasangan calon (paslon) dalam kegiatan kampanye akbar yang akan digelar pada 23 November mendatang. Tuduhan tersebut bermula dari imbauan yang diberikan Bawaslu terkait rencana salah satu paslon mendatangkan grup band yang beranggotakan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ketua Bawaslu Lombok Utara, Deni Hartawan, memberikan klarifikasi bahwa tindakan yang dilakukan pihaknya murni langkah pencegahan yang telah disalahartikan oleh pihak tertentu.
Dalam keterangannya, Deni menjelaskan bahwa Bawaslu hanya mengingatkan paslon terkait risiko hukum yang dapat muncul apabila melibatkan ASN secara langsung dalam kampanye.
“Kami menganalogikan bahwa ketika ada seseorang berjalan, lalu kami mengingatkan di depannya ada lubang, itu maksud baik dan tujuan kami sebenarnya. Namun, maksud baik ini justru disalahartikan,” ujar Deni.
Ia menegaskan, Bawaslu tidak pernah melarang paslon mendatangkan grup band tersebut. Namun, mereka mengimbau agar anggota band yang merupakan ASN tidak dilibatkan secara langsung dalam penampilan panggung.
“Grup bandnya boleh datang, asal jangan personelnya yang ASN. Kalau menggunakan personel lain di luar ASN, maka itu diperbolehkan,” tambahnya.
Dalam surat edaran Badan Kepegawaian Negara (BKN), ASN diperbolehkan mengikuti kampanye secara pasif. Namun, Bawaslu khawatir hal ini bisa disalahartikan sehingga memicu pelanggaran netralitas ASN.
“Kami hanya ingin memastikan agar pelaksanaan kampanye berjalan sesuai aturan, tanpa melibatkan ASN yang seharusnya bersikap netral,” kata Deni.
Ditempat yang sama, Koordinator Divisi Hukum Pencegahan Partisipatif Masyarakat dan Humas (HP2P) Bawaslu KLU Ria Sukandi menjelaskan, bahwa langkah ini mengacu pada Pasal 189 Undang-Undang Pemilu. Pasal tersebut melarang keterlibatan ASN, anggota TNI-Polri, kepala desa, dan perangkat desa dalam kampanye. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama enam bulan dan denda hingga Rp.6 juta.
“Ini bukan sekadar soal potensi pidana. Kami juga mengantisipasi pelanggaran administratif yang dapat berujung pada sanksi lebih berat, seperti diskualifikasi paslon,” tegas Ria.
Oleh karena itu, Bawaslu secara dini melakukan mitigasi untuk mencegah dampak hukum yang lebih besar di kemudian hari.
Meski menuai kritik, Ria menegaskan bahwa tindakan ini dilakukan semata-mata untuk memastikan semua pihak menaati aturan yang berlaku.
“Bukan untuk merugikan salah satu paslon tersebut, tetapi untuk mencegah terjadinya dugaan pelanggaran yang dapat merugikan mereka,” pungkasnya.